Rapat ABP PTSI 21 Mei 2019

Rapat ABP PTSI Pusat pada 21 Mei 2019, sehubungan dengan SE Sekjen Kemenristekdikti No. 38/A.A3/SE/2019 bertanggal 3 Mei 2019

Menyikapi terbitnya SE Sekjen Kemenristekdikti No. 38/A.A3/SE/2019 bertanggal 3 Mei 2019

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (KemristekDikti) mengeluakan Surat Edaran yang dikeluarkan pada tanggal 13 Mei 2019 Nomor:38/A.A3/SE/2019 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Surat Edaran (SE) yang ditanda tangani oleh Sekjen Ristek Dikti Aiauw Na’im tersebut ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur/Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di lingkungan Kemenristekdikti di-Seluruh Indonesia. Dasar pertimbangan keluarnya SE tersebut adalah dalam rangka pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia serta untuk mendorong akuntabilitas pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia. Adapun jenis laporan keuangan tahunan yang diminta itu terdiri dari: Neraca, Laporan Arus Kas, dan Laporan Laporan Rugi/Laba atau Laporan Operasional. Laporan keuangan dimaksud akan dipergunakan untuk mengetahui kesehatan keuangan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bersangkutan. Laporan keuangan diatas mohon disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti melalui LLDIKTI di wilayah masing-masing dengan ketentuan: 1. Bagi PTS yang memiliki lebih dari 3.000 mahasiswa, laporan keuangan dimaksud diaudit oleh Akuntan Publik. 2. Bagi PTS yang memiliki 1.500 s.d. 3.000 mahasiswa, laporan keuangan dimaksud diverifikasi oleh Akuntan Publik. 3. Bagi PTS yang memiliki kurang dari 1.500 mahasiswa, laporan keuangan dimaksud disetujui oleh yayasan/badan penyelenggara pendidikan tinggi swasta terkait. 4. Batas waktu penyampaian laporan keuangan adalah tanggal 30 Juni 2019. Menghadapi terbitnya SE tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tersebut, ABPTSI sebagai badan penyelenggara PTS perlu mengambil sikap, mengingat SE tersebut akan mengancam otonomi PTS. Oleh karena itulah pada tanggal 21 Mei 2019 bertempat di Ruang Rapat Gedung Universitas Moestopo Beragama diselenggarakan rapat antara pengurus pusat ABPTSI dengan para pengurus wilayah secara nasional. Ternyata sikap pengurus pusat ABPTSI ini disambut antusias oleh pengurus di wilayah, terbukti semua wilayah hadir dalam diskusi selama tiga jam tersebut. Hadirnya semua pengurus wilayah dengan biaya sendiri tersebut menandakan bahwa mereka memiliki concern besar yang diatur dalam SE tersebut. Rapat dipimpin oleh Ketua Umum ABPTSI Prof.Dr. Suyatno.

Pendapat Pakar

Dalam rapat pada tanggal 21 Mei tersebut selain diikuti oleh para pengurus pusat dan wilayah, juga mendengarkan pendapat pakar hukum dari universitas Parayangan, Bandung, Prof. Dr. Johanes Gunawan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jogun. Prof Jogun adalah salah satu pakar hukum yang sering terlibat dalam pembuatan regulasi di lingkungan Kemristek Dikti. Sejumlah pertanyaan yang dikemukakan oleh Prof Jogun dalam mengawali presentasinya adalah: a). Bagaimana kedudukan hukum Surat Edaran menurut peraturan perundang-undangan? b). Apakah Kemristekdikti memiliki kewenangan untuk mewajibkan PTS menyampaikan Laporan Keuangan Perguruan Tinggi Swasta berdasarkan peraturan perundang-undangan? Melalui pemeriksaan hukum yang dilakukan oleh Prof. Jogun, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Kedudukan hukum Surat Edaran (SE) menurut peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan dari suatu peraturan perundang-undangan adalah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) adalah sebagai berikut:
    1. Pasal 1 angka 1 UU PPP:
      Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan.
    2. Pasal 7 ayat (1) UU PPP:
      Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
      1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
      2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
      3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
      4. Peraturan Pemerintah;
      5. Peraturan Presiden;
      6. Peraturan Daerah Provinsi;
      7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
    3. Pasal 8 UUPPP:
      1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:
        • Majelis Permusyawaratan Rakyat,
        • Dewan Perwakilan Rakyat,
        • Dewan Perwakilan Daerah,
        • Mahkamah Agung,
        • Mahkamah Konstitusi,
        • Badan Pemeriksa Keuangan,
        • Komisi Yudisial,
        • Bank Indonesia,
        • Menteri,
        • badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
        • Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
        • Gubernur,
        • Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
        • Bupati/Walikota,
        • Kepala Desa atau yang setingkat.
      2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
    4. Penjelasan Pasal 8 UU PPP
      Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peratu ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalai penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.

      Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelesaian urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Perundang- undangan.
  2. Kewenangan Kemristekdikti untuk mewajibkan PTS menyampaikan laporan Keuangan Perguruan Tinggi Swasta berdasarkan peraturan perundangan-undangan. Adapun Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi adalah:
    1. UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti); dan
    2. PP No. 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
    3. UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Baik di dalam UU Dikti maupun PP No. 4 Tahun 2014 tidak ditemukan pengaturan tentang kewajiban PTS menyampaikan Laporan Keuangan kepada Pemerintah (dhi. Kemristekdikti).
Sedangkan di dalam UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 terdapat ketentuan sbb:

Pasal 52
  1. Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan.
  2. Ikhtisar laporan keuangan yang merupakan bagian dari ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang:
    1. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, dalam I (satu) tahun buku; atau
    2. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih.
  3. Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
  4. Hasil audit terhadap laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada Menteri dan instansi terkait.
  5. Laporan keuangan disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
PP No. 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan UU Yayasan mengatur:
Pasal 24
  1. Yayasan yang menerima bantuan negara wajib membuat dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota yang memberikan bantuan tersebut.
  2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.
    1. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, dalam | (satu) tahun buku; atau
    2. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih.
  3. Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
  4. Hasil audit terhadap laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada Menteri dan instansi terkait.
  5. Laporan keuangan disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Pendapat Hukum
  1. Kedudukan hukum Surat Edaran (SE) menurut peraturan perundang-undangan Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada angka 3.1. di atas, maka dapat dikemukakan bahwa:
    1. Surat Edaran (SE) bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang undangan, yaitubukan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum.Dengan demikian, SE tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat PTS;
    2. Apabila Kemristekdikti akan mengatur kewajiban PTS menyampaikan Laporan Keuangannya, maka harus dilakukan dengan Peraturan Menristekdikti (Permenristekdikti), tetapi Permenristekdikti tersebut akan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan syarat:
      • diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
      • dibentuk berdasarkan kewenangan.
        1. tidak ada perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai dasar hukum bagi Permenristekdikti yang memerintahkan agar Kemristekdikti meminta PTS untuk menyampaikan Laporan Keuangannya;
        2. Kemenristekdikti tidak memiliki kewenangan untuk meminta Pemimpin PTS (Rektor/Ketua/Direktur) untuk menyampaikan Laporan Keuangan PTS yang dipimpinnya, karena:
          • penyampaian Laporan Keuangan PTS disampaikan oleh Pemimpin PTS (Rektor/Ketua/Direktur) kepada Pengurus Yayasan (bukan kepada Menristekdikti);
          • selanjutnya Pengurus Yayasan menyusun Laporan Keuangan Yayasan dan meminta Akuntan Publik untuk melakukan audit;
          • hasil audit disampaikan kepada Pembina Yayasan, dan tembusannya kepada Menteri Hukum dan HAM dan instansi terkait.
      • Namun demikian, jika Menristekdikti akan menerbitkan Permenristekdikti tentang kewajiban PTS menyampaikan Laporan Keuangannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada angka 3.2 di atas, maka:
  2. Kewenangan Kemristekdikti untuk mewajibkan PTS menyampaikan Laporan Keuangan Perguruan Tinggi Swasta berdasarkan peraturan perundangundangan Sebagaimana telah dikemukakan dalam angka 4.1 di atas, maka Kemristekdikti tidak memiliki kewenangan untuk meminta Pemimpin PTS (Rektor/Ketua/ Direktur) untuk menyampaikan Laporan Keuangan PTS yang dipimpinnya. Selain alasan sebagaimana dikemukakan di atas, perlu dikemukakan bahwa sumber keuangan PTS berasal dari Yayasan, berbeda dengan PTN Satker yang sumber keuangannya dari negara (APBN). Oleh karena itu, Kemristekdikti memiliki wewenang untuk meminta Laporan Keuangan PTN, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk meminta Laporan Keuangan PTS. Adapun tujuan penyampaian Laporan Keuangan PTS kepada Kemristekdikti sebagaimana dikemukakan dalam Surat Edaran yang dimaksud, yaitu:
    1. Untuk pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia, telah dapat dipenuhi dengan clustering perguruan tinggi sebagaimana telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi, Ditjen Kelembagaan Iptek dan Dikti;
    2. Mendorong akuntabilitas pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, telah dilakukan penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagaimana telah diatur dalam Permenristekdikti No. 62 Tahun 2015 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, dan dilaksanakan oleh Direktorat Penjaminan Mutu, Ditjen Belmawa;
    3. Mengetahui kesehatan keuangan penyelenggaraan pendidikan tinggi di PTS yang bersangkutan, telah dapat diketahui baik dari SPMI maupun dari Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) atau Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) yang dilakukan oleh BAN-PT.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) PP No. 63 Tahun 2008, maka:
  1. SE Sekjen seharusnya ditujukan kepada Pengurus Yayasan;
  2. Hanya Yayasan yang menerima bantuan negara dari Kemristekdikti yang dapat dimintai Laporan Keuangan;
  3. Jangan menggunakan Surat Edaran tetapi surat saja kepada semua yayasan penerima bantuan negara;
  4. Tujuan penyampaian Laporan Keuangan PTS seperti dinyatakan dalam SE Sekjen tidak tepat, karena tujuan wajib lapor dalam SE tersebut disebutkan:
    1. Untuk pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia;
    2. Mendorong akuntabilitas pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia;
    3. Mengetahui kesehatan keuangan penyelenggaraan pendidikan tinggi di PTS yang bersangkutan, padahal tidak semua yayasan penyelenggara perguruan tinggi menerima bantuan negara.
  5. Karena ada yayasan penerima bantuan negara yang kegiatannya tidak saja dalam bidang pendidikan tinggi, maka dalam surat harus ditegaskan bahwa laporan keuangan hanya bidang pendidikan tinggi saja yang disampaikan ke Kemristekdikti
Simpulan Rapat

Setelah mendengarkan presentasi dari Prof Jogun, pimpinan rapat (Ketum dan Sekjen) membuka ruang dialog dengan para peserta rapat, yang merupakan representasi dari perwakilan masing-masing daerah, di antara mereka juga terdapat sejumlah pakar hukum.
Berdasarkan hasil dialog tersebut, diputuskan beberapa hal penting untuk diketahui oleh seluruh anggota Asosiasi BPPTSI, yaitu:

  1. Ditinjau secara hukum dan perundang-undangan bahwa Surat Edaran tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak ada undang-undang yang lebih tinggi yang menjadi sandaran hukumnya.
  2. Undang-undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penjelasan Undang-undang Pendidikan Tinggi tidak ada hal yang mengatur tentang pelaporan keuangan PTS kepada Kemenristekdikti.
  3. PP Nomer 63 tahun 2008 tentang pelaksanaan UU Yayasan terkait pelaporan keuangan PTS kepada yayasan. Dan mekanisme pelaporan keuangan Yayasan dilaporkan oleh pengurus dan pengawas kepada Pembina dan ditembuskan kepada Kementrian Hukum dan HAM (bukan Kemenristekdikti). Tentang laporan yayasan inipun diatur teknisnya berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
  4. Berdasarkan pandangan hukum dan Perundang-undangan dan kajian hukum lainnya yang tidak diutarakan di sini (mengingat kajiannya sangat mendalam) maka :
  5. Kepada seluruh anggota ABPPTSI agar PTS-nya tidak merespon Surat Edaran Sekjen terlebih dahulu sampai menunggu surat jawaban dari Asosiasi BPPTSI kepada Kemenristekdikti yang meminta agar Surat Edaran Sekjen Kemristekdikti tersebut dan Surat Dirjen Dikti terkait clustering terkait lampiran huruf B tentang pelaporan keuangan dicabut.
  6. Para peserta rapat meminta kepada Pengurus Pusat ABPTSI untuk menyampaikan penolakan secara tertulis kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, disertai dengan daftar presensi yang hadir dalam rapat pembahasan khusus mengenai SE tersebut.
  7. Para peserta rapat sepakat bahwa kewajiban pelaporan itu dibebankan kepada mereka yang menerima bantuan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dan proses pelaporan yang berlangsung selama ini (bagi mereka yang menerima bantuan) dirasakan sudah cukup.

Materi Rapat

  1. LO Kewajiban Laporan Keuangan PTS
  2. Pemeringkatan PT 2019

Surat Kepada Menristek

Dokumentasi

Last update: June 19, 2019