Ketua Bidang Humas, Publikasi, dan Dokumentasi ABP PTSI Pusat
Pendidikan adalah proses pemberdayaan yang bernilai tambah, yang
memampukan individu untuk lebih berkarya mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.
Dengan pemahaman tersebut, masa depan individu sangat ditentukan oleh pendidikan
yang ditempuhnya.
Pendidikan yang dimaksud di sini generik sifatnya, tidak membedakan jenjang,
tingkat, jenis, ataupun tahapnya. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan kemampuan
atau kebisaan (ability) individu, berarti pendidikan tidak boleh diterapkan secara masif
karena akan menghilangkan faktor individu yang justru menjadi faktor utama.
Keutamaan individu dalam proses pendidikan akan sangat menentukan efektivitas
dan keberhasilannya. Yang paling mengetahui dan merasakan keberhasilan pendidikan
adalah individu peserta didik, bukan pendidiknya, apalagi pengelolanya. Penerapan student
centered learning (SCL) saat ini secara prinsip sudah sejalan dengan tujuan memampukan
individu untuk berkarya melalui pembelajaran, dengan setiap peserta didik dididik untuk
selalu belajar dan pendidik fungsinya membelajarkan peserta didik, bukan mengajari.
Meski demikian, dalam implementasi SCL saat ini masih sebatas formalitas karena
ketidaksiapan pendidik dan juga pengelolanya, apalagi pendekatan yang dilakukan adalah
pendidikan secara masif. Alasan masifikasi adalah karena jumlah peserta didik yang sangat
banyak, dan untuk simplifikasi proses SCL dilakukan asesmen yang sifatnya administratif,
bukan substansi.
Pendidikan yang masif cenderung memarginalkan peran peserta didik dan lebih
mengedepankan peran pengelola dan pendidik, artinya tidak sesuai dengan makna
pendidikan yang sesungguhnya. Ukuran keberhasilan pendidikan masif lebih bersifat
administratif dan mengarah kepada pencitraan. Adanya pemeringkatan tingkat keberhasilan
pendidikan makin memperparah makna pendidikan yang sebenarnya dan makin
menguatkan fungsi pencitraan. Akhirnya yang menjadi korban adalah peserta didik dan
masyarakat di mana keberdayaannya lemah, tidak mampu mandiri, dan sangat tergantung
kepada negara.
Pendidikan Masa Depan
Faktor lain yang juga sangat penting dalam proses pendidikan adalah memampukan
peserta didik untuk sintas (survive) di masa depan, artinya pendidik harus mampu
membekali para peserta didik sehingga tidak tersisih oleh kondisi yang terjadi di masa
mendatang. Berarti pendidikan harus mampu mengantisipasi masa depan dalam jangka
yang panjang, tidak hanya yang saat ini, apalagi masa lalu.
Pendidikan yang saat ini diselenggarakan masih berorientasi kepada masa lalu
karena para pendidiknya adalah produksi masa lalu dengan pola pikir lama. Para pendidik
menggunakan pengalaman dan pengetahuan masa lalunya dalam mendidik peserta didik
saat ini. Dengan demikian terjadi kesenjangan antara pengalaman dan pemahaman para
pendidik terhadap harapan peserta didik serta pemangku kepentingan lainnya, di mana
peserta didik berharap dapat berkarya di masa mendatang, padahal bekal yang diberikan
oleh para pendidik adalah pengalaman masa lalu. Hal itu yang selama ini terjadi di
pendidikan, di mana para peserta didik merasakan bahwa apa yang mereka peroleh dari
pendidikan tidak terasa manfaatnya, bahkan lapangan pekerjaan tidak terlalu peduli
terhadap pendidikan formal yang diselenggarakan oleh berbagai institusi atau lembaga.
Perekrut tenaga kerja hanya peduli terhadap apa yang dapat dilaksanakan oleh calon
tenaga kerja untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, sedangkan di pemerintah
melalui skema pegawai negeri sipil perekrut hanya peduli terhadap tingkat kepatuhan calon
tenaga kerja kepada pimpinan dan negara. Contoh nyata adanya pengumuman oleh Google
Inc yang tidak mensyaratkan calon pegawainya lulusan perguruan tinggi. Permintaan
mereka cukup sederhana, yaitu mampu mengembangkan perangkat lunak yang bisa diraih
melalui pelatihan seperti halnya balai latihan kerja (BLK) maupun berbagai pelatihan lainnya.
Berbeda dengan Google Inc, perusahaan yang sangat maju di Korea, Hyundai,
mempunyai R&D center berkekuatan 1.000 doktor. Dalam hal ini Hyundai dan sejumlah
perusahaan yang maju lainnya justru membutuhkan keberadaan perguruan tinggi yang
mampu menghasilkan doktor berkualitas. Perbedaan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu
bentuk pendidikan yang mampu memenuhi seluruh harapan masyarakat dan pemangku
kepentingan yang sangat beragam.
Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dengan
demikian, keberagaman harus dirawat, dirajut, diperkuat, dikokohkan melalui pendidikan.
Hanya pendidikanlah yang berpeluang untuk menjadikan keberagaman suatu kekuatan yang
mampu menjadikan negara maju dan berdaulat.
Tantangan Pasca-Revolusi 4.0
Salah satu tantangan masa depan yang harus diantisipasi adalah Revolusi 4.0, di
mana perkembangan teknologi informasi dan intelegensia artifisial sangat cepat bahkan
jauh lebih cepat dari yang dibayangkan para ahli. Ciri Revolusi 4.0 adalah punahnya
sejumlah jenis pekerjaan yang dapat digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia
artifisial, sebaliknya terdapat sejumlah jenis pekerjaan yang tidak pernah mungkin
digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifisial. Apakah ada jenis pekerjaan
yang tidak mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan manusia?
Jawabannya sangat ada, yaitu jenis pekerjaan yang membutuhkan social skills
(kecakapan sosial) yang tinggi. Kecakapan sosial berbeda dengan kemampuan atau
keterampilan atau kompetensi sosial, kecakapan sosial sifatnya lebih mendalam dan
intrinsik melekat dengan individu, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dapat digantikan
oleh kecerdasan buatan. Adapun keterampilan atau kemampuan atau kompetensi sosial
masih mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan karena sifatnya artifisial dan tidak
melekat secara intrinsik terhadap individu.
Pendidikan masa depan seharusnya mampu membekali peserta didik dengan
kecakapan sosial sedemikian rupa sehingga mereka akan sintas pasca-Revolusi Industri 4.0.
Pertanyaan berikutnya adalah pendidikan seperti apa yang harus diberikan kepada peserta
didik dan bagaimana caranya?
Perubahan Paradigma Pendidikan
Salah satu ciri kecakapan sosial adalah kecakapan dalam menangani persoalan yang
kompleks yang sering kali tidak ada solusinya dan, kalaupun ada solusinya, solusi tersebut
tidak menimbulkan persoalan baru. Kecakapan tersebut harus ditunjang oleh sejumlah
kemampuan, seperti kemampuan analitis nonrutin dan kemampuan kognitif nonrutin.
Pendidikan yang dapat menjawab tantangan ini adalah pendidikan yang membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis, dan sudah harus dimulai sejak
dini, sejak pendidikan dasar. Tentu kemampuan tersebut harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan psikologis peserta didik, sesuai tingkat kematangan individu. Jika
kemampuan berpikir telah terbentuk, dengan sendirinya peserta didik akan memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan yang tinggi akan memacu individu untuk terus berpikir
ke arah kemajuan dan selalu mencari sesuatu yang baru.
Pencarian tersebut diwujudkan dalam bentuk pembelajaran sepanjang hayat, di
mana individu selalu belajar selama hidupnya untuk bertahan hidup. Tanpa pembelajaran
tersebut, dapat dipastikan bahwa individu tidak sintas menghadapi tantangan pasca-
Revolusi 4.0. Pada saat ini pendidikan di Indonesia belum menerapkan pendekatan seperti
ini, belum membentuk kemampuan berpikir individu, dan belum menumbuhkan kebutuhan
belajar individu.
Strategi untuk perubahan pendidikan harus dilakukan dengan perubahan pola pikir
para pelaku pendidikan, di mana para pendidik seyogianya mampu membelajarkan para
peserta didik, bukan sekadar mengajari dan melatih mereka. Membelajarkan peserta didik
jauh lebih sulit daripada sekadar mengajari dan melatih mereka karena harus bersifat
individual, tidak dapat dilakukan secara masif, dan penuh dengan variasi keberagaman.
Paradigma lama pendidikan yang mengutamakan kepatuhan dan ketaatan harus diubah
dengan paradigma baru yang memampukan berpikir dan belajar sepanjang hayat.
Perubahan ini harus didukung oleh kemauan politik pemerintah karena harus
didukung oleh semua pemangku kepentingan pendidikan. Perubahan ini harus masuk dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang pendidikan visi 2045 yang menjadi dasar
kebijakan pembangunan nasional. Ada isu besar yang akan dihadapi oleh dunia pada tahun
2052 menurut Jorgen Randers dalam bukunya A Global Forecast for the Next Forty Years
2052, yaitu berakhirnya kapitalisme, berakhirnya pertumbuhan ekonomi, berakhirnya
demokrasi yang lambat, berakhirnya keharmonisan antargenerasi, dan berakhirnya iklim
yang stabil. Indonesia akan sintas terhadap tantangan besar ini sekiranya kapasitas individu
dan masyarakatnya sudah terbekali dengan kecakapan sosial yang tinggi, terlepas dari benar
tidaknya prakiraan tersebut.
Dimuat di Koran Kompas, tanggal 28 Desember 2018 halaman 6
Perguruan Tinggi Jadi Tumpuan Moderasi Agama
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Agama Lukman Hakim Saifud din menekankan
pentingnya perguruan tinggi Islam me ngembangkan intelektualitas yang bertumpu pada
terwujud nya masyarakat berakhlak dan bermoderasi agama. “Dengan moderasi agama,
diharapkan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri bisa menjadi kampus berkelas dunia,”
ucapnya di Jakarta, Senin (7/1/2019), ketika melantik tiga pemimpin baru Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri.
Lukman mengimbau, moderasi beragama harus menjadi dasar bagi PTKIN untuk
meng analisis persoalan yang terjadi di masyarakat Moderasi beragama penting dilakukan
karena pada saat ini masyarakat terseret paham sangat konservatif sehingga tercerabut dari
realitas kekinian.
“Pada saat yang sama berkembang paham liberal yang ekstrem yang membuat kita
tercerabut dari realitas keagamaan dan keindonesiaan,” ucap Lukman. Di samping itu,
tentunya PTKIN juga menjaga dan meningkatkan mutu perkuliahan.
Pejabat yang dilantik Lukman adalah Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Amany Burhanuddin Umar Lubis, Rektor Institut Agama Islam Negeri Syekh
Nurjati Cirebon Sumanta, dan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tengku Dirundeng
Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Inayatillah.
Penguatan identitas
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Is lam Negeri Syarif
Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan di
masyarakat semakin menguatnya identitas-identitas keagamaan yang berpotensi
menimbulkan permasasalahan “Mulai dari soal pemakaman warga agama tertentu di
pemakaman umum, bahkan dikalangan satu agama sendiri,” kata Azyumardi.
Menurut Azyumardi, perlu pengaturan supaya tidak terjadi konflik-konflik yang kian
merusak kehidupan antar-umat beragama atau bahkan in tra-agama yang sama.
Menyikapi kondisi ini, lanjut Azyumardi, pertama, meski terkesan klise, pemerintah
dan terutama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus tetap berusaha melakukan
pe nguatan kehidupan beragama secara terus-menerus. Selama ini, aktivitas FKUB terbatas
pa da elite pemimpin agama sehingga ke depan harus lebih melakukan sosialisasi ke ma
syarakat akar rumput.
Berikutnya, pemerintah harus lebih tegas dan konsisten dalam penegakan hukum.
Siapa pun yang terbukti melakukan tindakan intoleran harus segara di tindak tegas.
Sabtu (4/1) pekan lalu di Bandung terjadi aksi pembu baran oleh sekelompok massa
terhadap kegiatan peluncuran buku Haqiqatul Wahyi yang di selenggarakan Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAi) di Masjid Mubarak. Panitia membubarkan diri sebelum
keseluruhan acara tµntas diselenggarakan.
“Aksi pembubaran kegiatan tersebut merupakan pelanggaran hak-hak konstitusional
warga JAi atas kemerdekaan beragama, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebas
an berekspresi dan berpendapat yang semuanya dijamin konstitusi,” kata Direktur Riset
Setara Institute Halili dalam pernyataan resminya.
Setara Institute mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Agama, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, mengambil langkah progresif mencabut Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perin tah
kepada Penganut, Anggota, Pengurus JAi dan Warga Masyarakat serta Peraturan Gubernur
Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa
Barat karena memicu terjadinya intoleransi dan pelanggaran hak-hak warga negara.
Sumber : Kompas, 8 Januari 2019